Hujan dan Kenangan

Hari ini hujan tak mau berhenti mengguyur Bandung, sendu rasanya. Ditengah penyebaran virus pandemi covid19, banyak situasi lain yang membuat kita menjadi lebih melow, stress, sedih, panik dan perasaan lainnya. Dalam kondisi seperti itu, setiap hal menjadi terpikir, termasuk kenangan pahit.

Tetiba aku teringat bapa. Teringat jelas kenangan pahit dan penyesalan.
Dua hari sebelum bapa meninggal -hari Sabtu- aku pulang sangat larut, sekitar pukul 11 malam. Bapa yang bukakan pintu untukku, aku sudah berpikir bahwa aku akan kena marah, tapi ternyata tidak. Bapa bukakan pintu dengan muka datar, aku pun tidak banyak bicara atau menyapa karena ketakutanku, tidak pula aku berterimakasih pada beliau karena sudah mau begadang menungguku pulang dan membukakan pintu untukku.
Saat itu kondisi finansialku sedang merada dititik rendah sehingga harus pulang larut malam karena kerja tambahan, bapa tidak setuju, terlalu khawatir ada hal buruk yang menimpaku selama berada di luar rumah. Tapi aku tak ada pilihan lain, dilema, saat itu aku memilih kena marah bapa ketika sampai ke rumah daripada aku berhenti kerja.

Hari Minggu pagi, cuaca sangat cerah. Suami dan anak2 mengajakku pergi mengunjungi rumah mertua, kebetulan pagi itu bapa tidak ada -entah sedang pergi kemana-, jadi aku hanya pamit sama mamah. Lagi-lagi aku pulang larut malam hari itu, dan tidak bertemu bapa.

Hari Senin pagi saatnya melakukan aktivitas rutin, menyiapkan anak sekolah lalu menyiapkan diri untuk pergi kerja. Hari itu pun aku hanya pamit sama mamah, karena katanya bapa tidur lagi sesaat setelah sarapan pagi.

Jam menunjukkan tepat pukul 09.00 pagi. Ponselku berdering, suara kakak perempuanku diujung lain menyuruhku untuk segera pulang ke rumah, dia tidak bilang apa pun, hanya menyuruhku pulang, urgen katanya.

Sesampainya di teras rumah, aku melihat semua orang sedang panik, menangis, mamah bahkan menangis histeris. Aku bingung, apa yang sedang terjadi?
Setelah masuk ke dalam rumah, aku hanya bisa mematung melihat bapa sudah tinggal raga. Aku tak bisa berkata apa pun, aku langsung menangis histeris, membayangkan diri bahwa aku tidak diberi kesempatan untuk berterimakasih, aku tidak diberi kesempatan untuk meminta maaf, dan aku tidak diberi kesempatan untuk bertemu dengannya lagi.

Kepergiaannya meninggalkan rasa sesal dalam diriku, tak dapat dihilangkan hingga hari ini.
Aku pernah minta Tuhan untuk mempertemukanku dengannya, hanya untuk meminta maaf dan berterimakasih. Atau mungkin Tuhan yang Maha Baik berencana menyatukan kami kembali suatu saat nanti, semoga.

Hari ini, hujan. Aku sedang mengingat bapa. 
"Alhamdulillah, bapa sudah tiada" pikirku, bapa tidak perlu mengalami situasi sulit seperti saat ini. Bapa sudah damai, jadi aku hanya tinggal menguatkan mamah, karena beliau sering kali terlihat baik-baik saja di luar, tapi tidak di dalam hati dan pikirannya. Aku dapat merasakan dan mengamati gerak geriknya saat kami berinteraksi dan berkomunikasi.

Mamah adalah salah satu jalanku untuk meminta maaf dan berterimakasih pada bapa di dunia ini. Alhamdulillah, dengan aku menjaga, membahagiakan dan merawat mamah ternyata cukup membuatku meredakan rasa sesal yang mengoyak hatiku. Aku pikir bapa akan senang dan memaafkanku ketika melihat aku menjaga mamah. Semoga Tuhan selalu memberikan kesempatan untukku untuk dapat memberikan yang terbaik pada mamah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aku, Perempuan.

Untuk Wanita yang Tidak Aku Kenal

Karena Allah yang mempertemukan